Fenomena urbanisasi dapat dianalogikan
seperti gula dan semut, dimana ada gula disitu semut berkumpul. Urbanisasi
adalah perpidahan penduduk dari desa ke kota. Tidak meratanya pembangunan
adalah sebab terjadinya urbanisasi. Jakarta merupakan kota tujuan utama
penduduk dari daerah-daerah di Indonesia. Karena Jakarta adalah pusat
pemerintahan dan pusat pertumbuhan ekonomi nasional, sekitar 60% perputaran
uang terjadi di Jakarta dan 40% lainnya tersebar di seluruh daerah di Indonesia.
Setiap tahun masyarakat luar Jakarta berbondong-bondong mencari penghidupan di
Jakarta, hal tersebut mengindikasikan bahwa masih terjadi ketidakmerataan
pembangunan di Indonesia.
Arus urbanisasi bermula pada masa
pembangunan era Presiden Soeharto. Konsep pembangunan waktu itu didasarkan pada
filosofi pembangunan konservatif. Ekonomi konservatif menitik beratkan
pembangunan pada investasi swasta, sehingga pemerintah pada waktu itu membangun
titik-titik pertumbuhan ekonomi dengan harapan terjadinya Trickle Down Effect
ke daerah-daerah sekitar titik pertumbuhan.
Indonesia memiliki luas daratan dan lautan
sekitar 5,1 Juta Km2 (pada waktu itu) , lima Pulau besar
(Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya), ribuan pulau-pulau
kecil baik yang berpenghuni atau tidak berpenghuni, dan Tiga Zona waktu yang
berbeda. Dari potensi tersebut pemerintah pada waktu itu hanya membangun lima
titik pertumbuhan ekonomi, yaitu Medan, Jakarta, Surabaya, Denpasar, dan
Makasar.
Lima titik pertumbuhan ekonomi tersebut
menjadi kota besar di Indonesia dengan titik central Daerah Khusus Ibu kota
Jakarta (DKI Jakarta). Lima daerah tersebut pada penjalanannya tidak mampu
menghasilkan Trickle Down Effect, sehingga terjadi disparitas pembangunan
daerah di Indonesia. Hal tersebutlah yang memicu arus urbanisasi di Indonesia.
Sangat jelas, penyebab dari adanya arus
urbanisasi di Indonesia adalah tidak digunakannya Pancasila sebagai Filosofi
dasar pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga potensi Sumber
Daya yang dimiliki Indonesia tidak sepenuhnya dikelola dan digunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pasca Reformasi, arus urbanisasi justru
semakin kuat, walaupun otonomi daerah sudah dibuka sebesar-besarnya. Jakarta
masih memiliki daya pikat yang kuat untuk menyedot orang-orang dari luar
Jakarta untuk datang mencari penghidupan. Dengan demikian, tidak ada bedanya
antara pemerintahan pasca reformasi dengan pemerintahan sebelumnya, dalam hal
pembangunan masih menunjukan ketimpangan antara daerah satu dengan daerah
lainnya.
Pemerintahan pasca reformasi juga tidak
menggunakan Pancasila sebagai Filosofi Dasar Pembangunan kehidupan berbangsa
dan bernegara. Liberalisme justru yang mendasari pembangunan di negeri ini.
Indikasinya dapat dilihat dari usaha Negara melakukan pinjaman-pinjaman kepada
Negara-negara pendonor. Jelas, bahwa gerakan reformasi hanya menjauhkan Bangsa
Indonesia dari nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila, yaitu
mengganti UUD ’45 dengan UUD 2002.
Oleh karena itu, untuk mengerem laju
urbanisasi di Indonesia kita harus kembali kepada nilai-nilai luruh bangsa ini.
Adapun langkah-langkah yang kita harus lakukan ialah:
1. Mengkaji
ulang UUD ’45 dan UUD 2002, mana yang bertentangan dengan preambule harus di
amandemen. Dengan demikian Pancasila menjadi filosofi dasar pembangunan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Kembali
kepada Pasal 33 UUD ’45, bahwa Sumber Daya harus dikuasai Negara untuk
sebesar-besar Kemakmuran rakyat
3. Mengkaji
Ulang UU yang berkaitan dengan Ekonomi.
4. Harus
kembalikan tanah ulayat (Tanah adat)
5. Memberdayakan
lembaga riset untuk mengembangkan teknologi, seperti BPPT
6. Bangun usaha rakyat sebagai usaha membangun
ekonomi pedesaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar