Senin, 26 Agustus 2013

Mengerem Laju Urbanisasi

Drs. Jimmy E. Jambak
(Ketua Bidang Ekonomi DPN PKP Indonesia)
Fenomena urbanisasi dapat dianalogikan seperti gula dan semut, dimana ada gula disitu semut berkumpul. Urbanisasi adalah perpidahan penduduk dari desa ke kota. Tidak meratanya pembangunan adalah sebab terjadinya urbanisasi. Jakarta merupakan kota tujuan utama penduduk dari daerah-daerah di Indonesia. Karena Jakarta adalah pusat pemerintahan dan pusat pertumbuhan ekonomi nasional, sekitar 60% perputaran uang terjadi di Jakarta dan 40% lainnya tersebar di seluruh daerah di Indonesia. Setiap tahun masyarakat luar Jakarta berbondong-bondong mencari penghidupan di Jakarta, hal tersebut mengindikasikan bahwa masih terjadi ketidakmerataan pembangunan di Indonesia. 

Arus urbanisasi bermula pada masa pembangunan era Presiden Soeharto. Konsep pembangunan waktu itu didasarkan pada filosofi pembangunan konservatif. Ekonomi konservatif menitik beratkan pembangunan pada investasi swasta, sehingga pemerintah pada waktu itu membangun titik-titik pertumbuhan ekonomi dengan harapan terjadinya Trickle Down Effect ke daerah-daerah sekitar titik pertumbuhan.

Indonesia memiliki luas daratan dan lautan sekitar 5,1 Juta Km2 (pada waktu itu) , lima Pulau besar (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya), ribuan pulau-pulau kecil baik yang berpenghuni atau tidak berpenghuni, dan Tiga Zona waktu yang berbeda. Dari potensi tersebut pemerintah pada waktu itu hanya membangun lima titik pertumbuhan ekonomi, yaitu Medan, Jakarta, Surabaya, Denpasar, dan Makasar.

Lima titik pertumbuhan ekonomi tersebut menjadi kota besar di Indonesia dengan titik central Daerah Khusus Ibu kota Jakarta (DKI Jakarta). Lima daerah tersebut pada penjalanannya tidak mampu menghasilkan Trickle Down Effect, sehingga terjadi disparitas pembangunan daerah di Indonesia. Hal tersebutlah yang memicu arus urbanisasi di Indonesia.

Sangat jelas, penyebab dari adanya arus urbanisasi di Indonesia adalah tidak digunakannya Pancasila sebagai Filosofi dasar pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga potensi Sumber Daya yang dimiliki Indonesia tidak sepenuhnya dikelola dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pasca Reformasi, arus urbanisasi justru semakin kuat, walaupun otonomi daerah sudah dibuka sebesar-besarnya. Jakarta masih memiliki daya pikat yang kuat untuk menyedot orang-orang dari luar Jakarta untuk datang mencari penghidupan. Dengan demikian, tidak ada bedanya antara pemerintahan pasca reformasi dengan pemerintahan sebelumnya, dalam hal pembangunan masih menunjukan ketimpangan antara daerah satu dengan daerah lainnya.

Pemerintahan pasca reformasi juga tidak menggunakan Pancasila sebagai Filosofi Dasar Pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Liberalisme justru yang mendasari pembangunan di negeri ini. Indikasinya dapat dilihat dari usaha Negara melakukan pinjaman-pinjaman kepada Negara-negara pendonor. Jelas, bahwa gerakan reformasi hanya menjauhkan Bangsa Indonesia dari nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila, yaitu mengganti UUD ’45 dengan UUD 2002.

Oleh karena itu, untuk mengerem laju urbanisasi di Indonesia kita harus kembali kepada nilai-nilai luruh bangsa ini. Adapun langkah-langkah yang kita harus lakukan ialah:
1. Mengkaji ulang UUD ’45 dan UUD 2002, mana yang bertentangan dengan preambule harus di amandemen. Dengan demikian Pancasila menjadi filosofi dasar pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Kembali kepada Pasal 33 UUD ’45, bahwa Sumber Daya harus dikuasai Negara untuk sebesar-besar Kemakmuran rakyat
3.  Mengkaji Ulang UU yang berkaitan dengan Ekonomi.
4.  Harus kembalikan tanah ulayat (Tanah adat)
5.  Memberdayakan lembaga riset untuk mengembangkan teknologi, seperti BPPT 
6. Bangun usaha rakyat sebagai usaha membangun ekonomi pedesaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Slide PKPI

pkpinasional's Slide MCPKPI album on Photobucket

PKPI Video

http://www.youtube.com/user/pkpinasional