Marsdya TNI (Purn) Budhy Santoso (Ketua Bidang POLHUKAM DPN PKP Indonesia) |
Bangsa
Indonesia pada umumnya mengenal Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Lambang Bendera
GAM, sebagai sebuah gerakan bersenjata yang ingin memisahkan diri dari NKRI di
bawah pimpinan Hassan Tiro.
Gerakan
bersenjata menentang pemerintah RI ini telah berlangsung hampir 30 tahun sejak
1976 dan telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa tidak kurang dari 15.000
orang. Konflik bersenjata ini pun berakhir melalui penandatanganan Nota Kesepahaman
Helsinki, oleh Pemerintah RI dengan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 di Finlandia.
Hassan Tiro kelahiran Pidie 1925, selama memimpin GAM telah mengasingkan diri
di Stokholm dan menjadi warganegara Swedia sejak 1979. Hasan Tiro kembali ke
Aceh dan menerima kewarganegaraan RI kembali, satu hari sebelum ia meninggal dunia
karena sakit pada tanggal 3 Juni 2010.
Polemik
bendera GAM mau tak mau telah mengusik kembali ingatan kita semua tentang konflik
bersenjata yang belum terlalu lama dapat diselesaikan tersebut. Pertemuan Gubernur
Aceh dengan Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 17 April 2013 dan pertemuan
Gubernur Aceh juga dengan Menkopolhukam pada tanggal 15 April 2013, keduanya belum
mencapai kesepakatan tentang Qanun No 3/ 2013 yang telah disyahkan oleh DPR
Aceh. Kedua pihak bersepakat untuk menunda pembicaraan tersebut
dan akan melakukan pertemuan pada kesempatan yang lain.
PKP
INDONESIA mendukung sepenuhnya ketegasan pemerintah dalam upaya mencegah pemberlakuan
Qanun No 3/ 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh yang persis Bendera GAM, serta
rencana pengibarannya dalam peringatan Nota Helsinki 15 Agustus mendatang. Pasal
4.4.2 Nota Kesepahaman Helsinki tentang Pengaturan Keamanan, menyebutkan: “GAM
melakukan demobilisasi atas semua 3000 pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan
memakai seragam maupun menunjukan emblem atau symbol militer setelah penandatanganan
Nota Kesepahaman”. Bendera GAM yang telah digunakan dalam pergerakan militer selama
tiga dasawarsa jelas merupakan symbol militer tertinggi, sehingga termasuk salah
satu simbol yang telah didemobilisasi atau dilarang untuk digunakan lagi sesuai
Nota Kesepahaman tersebut.
Penggunaan
bendera GAM sebagai bendera propinsi Aceh juga bertentangan dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 77 Tahun 2007, yang melarang desain Logo dan Bendera Daerah sama, dengan desain
dari bendera perkumpulan terlarang atau gerakan separatis.
Disamping bertentangan dengan beberapa ketentuan tersebut, penggunaan kembalibendera
GAM dalam kegiatanapapun, dan di mana pun, khususnya di wilayah Aceh jelas bertentangan
dengan semangat perdamaian yang sudah dengan susah payah dicapai melalui Nota
Kesepahaman Helsinki itu sendiri. Walaupun sebagian tertentu masyarakat Aceh
merasa memiliki hubungan psikologis dengan bendera GAM, khususnya bagi mereka
yang ikut pergerakan GAM selama puluhan tahun. Namun demikian, sebagaian besar masyarakat
Aceh dan segenap bangsa Indonesia lebih menginginkan perdamaian abadi dalam persatuan
kesatuan Indonesia yang utuh, demi kehidupan yang lebih baik di masa-masa mendatang,
dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
http://nasional.kompas.com/read/2013/07/25/2318083/Kenapa.Aceh.Tak.Kibarkan.Merah.Putih.Saja.
http://nasional.kompas.com/read/2013/07/25/2318083/Kenapa.Aceh.Tak.Kibarkan.Merah.Putih.Saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar