REFLEKSI
KEBANGKITAN PRIBUMI 105 TAHUN
RENUNGAN
KEBANGKITAN NASIONAL
20 Mei 2013
Oleh : Cesillia C'est
Oleh : Cesillia C'est
“Bukan kesulitan yang membuat kita takut,
tetapi ketakutan yang membuat kita sulit. karena itu jangan pernah mencoba
untuk menyerah dan jangan pernah menyerah untuk mencoba. Jangan katakan kepada
Allah aku punya masalah, tetapi katakan
kepada masalah aku punya Allah.”
Pribumi atau penghuni asli; yang
berasal dari tempat yang bersangkutan. Komitmen yang ditumbuhkan oleh Budi
Utomo untuk mengangkat harkat dan martabat hidup pribumi yang terbodohkan,
termiskinkan, terbelakang dan tertindas adalah satu komitmen yang tidak
bisa ditawar-tawar lagi.
Kita tidak ingin menjadi jongos di
bangsa sendiri, bukan berarti bangsa kita yang dikenal ramah menjadikan mereka
tidak tahu etika dan seenaknya melakukan apapun di bangsa kita, seperti
yang penjajah lakukan di masa yang lalu.
Seperti yang dikatakan Bung Karno
dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi Jilid II bahwa jangan
sekali-kali melupakan sejarah karena sejarah adalah hukum yang kelak akan
menguasai kehidupan manusia.
Krisis multidimensi yang berarti
krisis di segala bidang, mulai dari krisis etika, moral penegakkan hukum,
sosial, politik, ekonomi, hingga mengarah kepada disintegrasi bangsa yang
mengancam kesinambungan Negara Republik Indonesia. Hal tu tidak terlepas
dari dialektika idealis para penguasa yang merupakan salah satu faktor yang
sangat menentukan situasi dan kondisi bangsa saat ini.
Dunia ini panggung sandiwara, demikian konsep yang acapkali dikemukakan dalam memahami "dramaturgi" manusia dan realitas sosialnya. Namun karena sifatnya yang lucu, maka konsepsi ini lebih cenderung mengarah ke sebutan parodi.
Dalam parodi, tersirat makna bahwa
dunia realitas masih dipahami eksistensinya karena kekuatan sistem. Opisisi biner (binary-opposition) yaitu
menggabungkan dua sifat yang bertentangan karena dianggap memberikan jaminan
terciptanya harmoni, keseimbangan atau ekuilibrium seperti baik/buruk, dan atau
hitam/putih dalam suatu masyarakat/negara.
Oposisi biner memandang bahwa dunia
ini adalah sesuatu penuh dengan
ketunggalan, sentralisasi dan meniadakan perbedaan. Perjalanan bangsa Indonesia
ditandai dengan parodi seperti itu.
Kita membuat hukum tetapi kita yang
melanggarnya beramai-ramai. Penegak hukum yang seharusnya jadi pengayom rakyat
justru tidak berbuat semestinya sehingga masyarakat ketakutan dan dalam keadaan
tercekam, sejumlah jaksa terlibat dengan mafia peradilan dan terdakwa dalam
pemutusan perkara, mengakibatkan persoalan-persoalan pribadi berubah menjadi
konsumsi publik dan sebaliknya mencerminkan permainan sebuah parodi besar yaitu
parodi menyangkut diri kita sendiri.
Struktur yang dibuat oleh pejabat
publik justru dimentahkan oleh pembuat produk hukum itu sendiri tatkala mereka
merasa bahwa kepentingan-kepentingan pribadinya dikorbankan. Maka, sekali lagi,
rakyat yang menjadi korban dari parodi yang dimainkan aktor-aktor pintar bangsa
sendiri.
Parodi di Indonesia sekarang, tumbuh
sebagai parodi kebudayaan (mega parodi), kelucuan dan kekeliruan berpikir dan
bertindak telah menerobos ruang-ruang budaya sebagai sebuah tontonan bagi
masyarakat dunia.
Parodi yang faktanya menyebabkan
ketidakdewasaan berpikir. Rasa tanggung jawab dalam masyarakat pun menjadi
tumpul karena kegagalan manusia dalam pencapaian kedewasaan berpikir.
Parodi dalam kebangsaan kita
memperlihatkan betapa rapuhnya konsep nasionalisme dan perhormatan supremasi hukum
yang dibangun untuk keadilan dan mensejahterakan bangsanya, karena hingga saat
ini belum sepenuhnya diakomodir.
Bukankah parodi bangsa seperti
inilah yang membuat masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang tidak memiliki
standar akal dan ketidakmampuan berpikir sehat?
Setelah 105 tahun Kebangkitan
Pribumi, sudah saatnya makna kebangkitan nasional
diarahkan kepada penciptaan bangsa untuk mampu mengolah aksi, reaksi dan
kontemplasi secara maksimal sehingga bangsa ini bisa bangkit dari
keterpurukannya dan tidak larut dalam romantisme masa lalu.
Untuk itu diperlukan
tumbuhkembangkan rasa kebangsaan tinggi agar Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika
tidak hanya semboyan yang menjadi slogan belaka, tetapi benar-benar dapat
menjiwai perilaku seluruh rakyat Indonesia.
Salah satu hal yang bisa menumbuhkan
rasa kebangsaan adalah Kebangkitan Nasional, bangkit dari keterpurukan, bangkit
dari ketertinggalan, bangkit dari ketidakadilan, bangkit dari kemiskinan dan
kebodohan.
Pemerintah Republik Indonesia sudah
seharusnya memberi perlakuan yang sama terhadap rakyat, warga negara dan
penduduknya dari Merauke sampai Sabang, bila rakyat di satu wilayah sejahtera
maka selayaknya rakyat di wilayah lainpun sejahtera agar asas Keadilan Sosial
Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dapat diimplementasikan secara proposional dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kita tidak bisa lagi bangkit hanya
sekedar dengan kata-kata, untaian puisi maupun heroik cerita. Kita harus bangkit melakukan
gerakan, langkah nyata untuk membangun Republik Indonesia sebagai sebuah bangsa
yang lahir dan eksistensi yang sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Gerakan lahir dari kesadaran dan
kondisi sosial kehidupan yang melingkupi kita. Gerakan lahir dari kesadaran
untuk berubah, berubah kepada yang lebih baik. Gerakan lahir tidak karena
disuruh, diberikan, disuapkan apalagi karena hadiah. Gerakan lahir karena
kesadaran sebagai sebuah bangsa, mengambil, merebut bahkan merampas untuk
tujuan kebaikan, kebesaran dan kejayaan kita sebagai sebuah bangsa.
Gerakan kebangsaan dalam kondisi
kekinian, bukan lagi melihat ke dalam struktur masyarakat Indonesia karena
masyarakat yang berstruktur seperti pada masa penjajahan Belanda sudah tidak
ada.
Sekarang, kita harus melihat
Indonesia dalam kancah pergaulan dengan negara-negara lain. Kalau saja, bangsa
lain tidak lebih maju dari kita, maka kita memiliki kekuatan dan kebanggan
sebagai sebuah bangsa besar, bangsa Indonesia.
Akan tetapi kita masih jauh dari
itu, kita hanya bisa bangga sebagai bangsa dengan penduduk terbesar ke empat di
dunia. Di dunia olahraga, bulu tangkis yang dahulu merupakan kebanggaan kita,
kini tidak lagi, apalagi dunia seni, budaya, film, ilmu, pengetahuan dan
teknologi, bahkan perihal kebersihan dan kedisiplinan di jalan, kita belum maju.
Sehingga nyaris, tidak ada lagi yang bisa kita banggakan sebagai sebuah bangsa.
Kita harus jujur kepada diri kita masing-masing
hari ini kita hanya dilihat sebagai bangsa pekerja harian, bangsa pekerja
kasar, buruh perkebunan, buruh bangunan dan pekerja rumah tangga.
Apakah sebagai sebuah bangsa kita
hanya senang dipandang sebelah mata? Apakah terus kita harus sebagai khadam,
istilah kerennya pekerja rumah tangga, istilah agak kasar “pembantu rumah
tangga”, istilah lebih kasar adalah ”babu” dan lebih kasar lagi adalah “budak”?
Gerakan yang harus kita lakukan
sekarang adalah gerakan untuk memajukan kecerdasan bangsa, gerakan untuk hidup
disiplin dan teratur, gerakan menghargai waktu serta gerakan internationalize
standard. Hanya dengan cara itulah kita bisa mengukur diri, apa kita masih
berjalan di belakang, sudah di tengah atau di depan dalam peradaban dunia.
Kesadaran yang harus dibangun adalah
kesadaran akan kesedarajatan, kesetaraan sebagai bangsa, Kesadaran menjadi
bangsa besar dan kesadaran untuk maju dan lebih unggul dari bangsa lain. Ini
harus menjadi kesadaran bersama kita sebagai anak bangsa.
Yang harus kita lakukan hari ini
dalam menghadapi standar internasional
adalah daya saing dan Kekuatan kompetisi! Inilah yang terlemah dalam
bangsa kita.
Nasionalisme harus dibangun dengan
kesadaran bahwa kita adalah bangsa yang memiliki daya saing tinggi dalam segala
aspek kehidupan. Karena itu sekali lagi gerakan yang kita bangun adalah gerakan
pencerdasan bangsa, kedisiplinan, keteraturan serta membangun kekuatan daya
saing sebagai sebuah bangsa yang berada di tengah pergaulan dunia.
Untuk membangun gerakan kesadaran
membangun keadilan dan kemandirian serta
persatuan Indonesia, kita tidak perlu menjadi bangsa peminta-minta, bangsa yang
selalu mengeluh kepada bangsa lain, karena hal itu akan tetap merendahkan
martabat bangsa.
Kita harus mengolah sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi kita untuk kebesaran bangsa kita. Kita tidak perlu lagi
menjual kekayaan alam untuk keuntungan bangsa lain.
Lawan kita bukan hanya siapa yang
berkuasa, tetapi lawan kita adalah cengkraman keserakahan bangsa-bangsa dunia
atas seluruh aspek kehidupan kita. Lawan kita adalah keterpurukan kita dalam
kancah pergaulan dengan bangsa-bangsa lain. Lawan kita adalah kelemahan daya
saing itu.
Oleh karena itu pemerintah harus
menjadikan persoalan tersebut menjadi gerakan dan program yang utama dan
pertama.
Bila mereka yang kini berkuasa tidak
melakukan itu, kita yang peduli akan perbaikan nasib bangsa harus
bergotong-royong mengambil alih penentu kebijakan, menggantikan posisi mereka.
Bergerak sebagai sebuah bangsa untuk kejayaan semua kita di masa depan!
"Jika
mencoba adalah sebuah tanya, maka berharap jawabannya."
Tidak letih mengarung petang
berburu asa di pasir panjang
mengerutkan dahi, tergenggam tinta dalam jari.
Setiba api menerpa jembatan kemerdekaan
meski pengkhianat mengoyak kedaulatan
Tapi, pantang kita.
berpaling seperti pengecut
Demi segaris cahaya kedaulatan menembus pintu gerbang kemerdekaan
berjuang walau patah remuk semangat.
Meski ada apatis, Kita tetap optimis.
mari susuri jalan merah yang di tebar pendiri bangsa .
Tidak letih mengarung petang
berburu asa di pasir panjang
mengerutkan dahi, tergenggam tinta dalam jari.
Setiba api menerpa jembatan kemerdekaan
meski pengkhianat mengoyak kedaulatan
Tapi, pantang kita.
berpaling seperti pengecut
Demi segaris cahaya kedaulatan menembus pintu gerbang kemerdekaan
berjuang walau patah remuk semangat.
Meski ada apatis, Kita tetap optimis.
mari susuri jalan merah yang di tebar pendiri bangsa .
Dengan dagu terangkat kita tantang hari esok
tegakkan
keadilan dan persatuan Indonesia!
Pantang menyerah, senantiasa melawan Parodi!
Pantang menyerah, senantiasa melawan Parodi!
Singsingkan
lengan baju, kepal jemari gemakan
Bangkit !
Rebut! Kedaulatan bangsa.
Dirgahayu 105 tahun Kebangkitan Nasional!
Dirgahayu 105 tahun Kebangkitan Nasional!
Jakarta, 20
Mei 2013
Ida Cesilia
Dapil Bali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar