JAKARTA – Keputusan Komisi
Pemilihan Pemilu (KPU) untuk mencoret daerah pemilihan (dapil) bagi partai
politik (parpol) yang tidak memenuhi syarat 30% keterwakilan calon legislator
(caleg) perempuan dinilai keliru.
Pakar hukum tata negara Margarito
Kamis mengatakan, kebijakan yang dijalankan KPU tersebut melanggar hak
konstitusional parpol. Menurut dia, secara konstitusi parpol yang memenuhi
syarat punya hak menjadi peserta pemilu. Karena itu, KPU tidak bisa menghapus
dapil lantaran ada satu caleg yang tidak memenuhi syarat. “Caleg yang tidak
memenuhi syarat tidak bisa menjadi caleg.
Tapi kalau partainya tidak bisa
mencalonkan di dapil, itu salah,” kata Margarito dalam forum diskusi bertajuk
“Pembatalan Parpol di Dapil Inkonstitusional” kemarin di Galery Caffe Jakarta.
Dia menjelaskan, kesalahan caleg tidak bisa dijadikan dasar untuk menghapus hak
parpol yang telah memenuhi syarat pada saat dilakukan verifikasi. KPU harusnya
mewajibkan parpol mengganti caleg yang tidak memenuhi syarat tersebut karena
menempatkan caleg di dapil merupakan hak parpol.
“Subjek dalam pemilu itu parpol,
bukan perseorangan. Bagaimana bisa kesalahan individu lantas menghapus hak
parpol? Itu tidak bisa. Mestinya diwajibkan mengganti caleg yang dihapus,”
ujarnya. Karena itu, Margarito menyarankan agar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
mengoreksi keputusan KPU yang mencoret dapil akibat parpol tidak memenuhi ketentuan
kuota caleg perempuan.
Dia bahkan mengingatkan agar
Bawaslu tidak bermain mata dan membenarkan begitu saja keputusan yang diambil
KPU karena tindakan itu dapat dikategorikan melanggar hukum. “Bawaslu harus
mengoreksi tindakan KPU. Tidak benar mengurangi hak parpol,” ucapnya.
Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow menilai
kasus pencoretan dapil terjadi karena peraturan KPU tidak tuntas mengatur
syarat pemenuhan 30% caleg perempuan.
Akibatnya, kesalahan satu orang
di dapil menggugurkan caleg dari partai yang sama. Dia mengaku setuju adanya
pemberian sanksi bagi caleg yang tidak memenuhi syarat, tapi kesalahan yang
dialami satu caleg tidak bisa menggugurkan caleg lain. “Menggugurkan semua
karena satu orang itu tidak adil,” katanya. Menurut Jeirry, Bawaslu harus
menguji keputusan KPU yang melakukan pengguguran beberapa dapil. Bawaslu bahkan
dapat membawa kasus tersebut ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Dia juga mengingatkan agar jangan
sampai terjadi persekongkolan antara KPU dan Bawaslu dalam menangani kasus ini
dengan cara membenarkan begitu saja keputusan KPU. “Kalau keputusan KPU
dibenarkan begitu saja oleh Bawaslu, seolah semua keputusan KPU benar, saya kira
itu tidak benar,” tuturnya.
Selain itu, Jeirry menekankan
agar Bawaslu mengoreksi secara cermat pencoretan dapil oleh KPU. Bawaslu juga
diminta tidak hanya fokus pada kesalahan yang dilakukan partai, tapi juga fokus
pada kinerja penyelenggara pemilu. Dengan begitu, Bawaslu dapat memberikan
keadilan kepada parpol. “Jadi fokus Bawaslu jangan hanya melihat kesalahan
parpol, tapi harus fokus juga terhadap kinerja penyelenggara.
Dalam kasus ini, Bawaslu harus
benarbenar mengecek kembali kinerja KPU,” paparnya. KPU menggugurkan dapil dari
lima parpol yang tidak memenuhi kuota 30% caleg perempuan di dapil
bersangkutan. Kelima partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di
dapil Jawa Barat II dan Jawa Tengah III, Partai Amanat Nasional (PAN) di dapil
Sumatera Barat I, Partai Gerindra di dapil Jawa Barat IX.
Partai lain yang terkena
pencoretan antara lain Partai Keadilan Persatuan Indonesia (PKPI) di dapil Jawa
Barat V, Jawa Timur VI, dan NTT I, serta Hanura di dapil Jawa Barat II. Ketua
DPP Partai Hanura Yuddy Chrisnandi menganggap KPU telah bertindak otoriter atas
pencoretan dapil Jawa Barat II dalam pengumuman hasil daftar calon sementara
(DCS).
“Itu adalah sikap arogansi
institusi yang mengabaikan prinsip musyawarah dan tidak mengedepankan
komunikasi politik dengan baik,” kata Yuddy seusai diskusi kebangsaan bertajuk
”Mewujudkan Pemilu 2014 Bersih, Berkualitas, dan Bermartabat” kemarin di Hotel
Sahid, Jakarta. Yuddy mengatakan, seharusnya KPU tahu tentang prinsipprinsip
demokrasi dengan mengedepankan musyawarah mufakat dan semangat keadilan.
Dia menyayangkan sikap KPU bahwa
dengan jenjang proses yang masih tersisa sebelum pengumuman DCS, seharusnya
pencoretan dapil tidak terjadi. Padahal penyebabnya bukanlah urusan yang
substansial dan prinsipil, melainkan hanya administrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar